Senin, 05 Mei 2025

Jam Gadang di Bukittinggi

Jam Gadang

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh,
Sahabat Bg Barry dimanapun berada, kali ini Bg Barry akan perkenalkan tentang Jam Gadang yang ada di kota Bukittinggi.

Bagi yg melancong ke Bukittinggi dapat membaca tulisan ini, untuk menambah informasi - informasi berkenaan dengan sebuah Jam yg merupakan peninggalan bangsa belanda pada masa dahulu.
Jam Gadang adalah menara jam setinggi 27 meter yang menjadi penanda atau ikon Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Menara jam ini diresmikan pembangunannya pada 25 Juli 1927. Terdapat jam berukuran besar berdiameter 80 cm di empat sisi menara sehingga dinamakan Jam Gadang, sebutan bahasa Minangkabau yang berarti "jam besar".

Ukuran dasar bangunan Jam Gadang yaitu 6,5 x 6,5 meter, ditambah dengan ukuran dasar tangga selebar 4 meter, sehingga ukuran dasar bangunan keseluruhan 6,5 x 10,5 meter.Bagian dalam menara jam terdiri dari lima tingkat, dengan tingkat teratas merupakan tempat penyimpanan bandul.

Terdapat empat jam dengan diameter masing-masing 80 cm pada Jam Gadang. Jam tersebut digerakkan secara mekanik oleh mesin yang didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda melalui pelabuhan Teluk Bayur. Mesin jam dan permukaan jam terletak pada satu tingkat di bawah tingkat paling atas. Pada bagian lonceng tertera pabrik pembuat jam yaitu Vortmann Recklinghausen. Vortman adalah nama belakang pembuat jam, Benhard Vortmann, sedangkan Recklinghausen adalah nama kota di Jerman yang merupakan tempat diproduksinya mesin jam pada tahun 1892.

Jam Gadang dibangun pada 1925–1927 atas inisiatif Hendrik Roelof Rookmaaker, controleur atau sekretaris kota Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Jamnya merupakan hadiah dari Ratu Belanda Wilhelmina. Seorang arsitek asal Koto Gadang, Yazid Rajo Mangkuto bertindak sebagai penanggung jawab pembangunan, sementara pelaksana pembangunan ditangani oleh Haji Moran dengan mandornya St. Gigi Ameh.
Peletakan batu pertama pembangunan dilakukan oleh putra pertama Rookmaker yang pada saat itu masih berusia enam tahun. Pembangunannya menghabiskan biaya sekitar 15.000 Gulden di luar biaya upah pekerja sebesar 6.000 Gulden. Biaya itu bersumber dari Pasar Fonds, badan pengelola dan pengumpul pajak atas pasar-pasar di Bukittinggi.

Jam Gadang sedang dalam tahap kontruksi ketika terjadinya gempa bumi Padang Panjang pada Juni 1926. Gempa mengakibatkan bangunan menara miring 30 derajat sehingga diperbaiki seperti keadaan semula. Pada Februari 1927, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Andries Cornelies Dirk de Graeff meninjau pembangunan Jam Gadang dalam kunjungannya ke Fort de Kock.

Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, atapnya berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Bentuk ini sebagai sindiran agar orang Kurai, Banuhampu, sampai Sungai Puar bangun pagi apabila ayam sudah berkokok.

Pada masa pendudukan Jepang, bentuk atap diubah menyerupai Kuil Shinto. Pada 1953, setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.
Jam Gadang telah mengalami beberapa perubahan desain sejak pertama kali dibangun. Pada masa kolonial Belanda, atap menara ini berbentuk bulat dengan patung ayam jantan di puncaknya. Selama pendudukan Jepang, atapnya diubah menjadi bentuk pagoda khas arsitektur Jepang. Setelah Indonesia merdeka, atapnya kembali direnovasi menjadi bentuk gonjong khas rumah adat Minangkabau yang bertahan hingga kini.

Selain sebagai penunjuk waktu, Jam Gadang pernah difungsikan sebagai pos pengamatan, terutama dalam situasi darurat seperti kebakaran yang melanda Pasar Ateh. Dari ketinggian menara, petugas dapat mengawasi situasi sekitar dan membantu mengarahkan upaya pemadaman
Angka 4 pada Jam Gadang Bukittinggi ditulis IIII, bukan IV, karena penulisan IV memiliki makna I Victory, yang berarti kemenangan. Belanda khawatir jika angka tersebut ditulis IV, akan menumbuhkan semangat perlawanan rakyat Bukittinggi sehingga bisa mengalahkan mereka. Selain itu, penulisan IIII juga umum digunakan pada jam besar di Eropa pada masa lalu. 

Berikut adalah penjelasan lebih detail:
Angka Romawi IV, jika dibaca dengan cara tertentu, dapat diartikan sebagai "I Victory" atau "kemenangan". Belanda, sebagai penjajah saat itu, khawatir jika angka tersebut digunakan pada Jam Gadang, akan menginspirasi rakyat untuk melawan mereka. 
Tradisi Jam Besar Eropa:
Penulisan IIII untuk angka 4 juga merupakan praktik umum pada jam besar di Eropa, terutama sebelum abad ke-17. Belanda yang membangun Jam Gadang pada 1926 kemungkinan membawa tradisi ini dari Eropa. 

Jam Gadang sebagai Ikon:
Jam Gadang adalah ikon kota Bukittinggi dan merupakan simbol perlawanan terhadap penjajahan. Oleh karena itu, Belanda berusaha untuk mengendalikan simbol-simbol tersebut, termasuk angka pada jam. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Trip Bukittinggi - Padang

TRIP PERCUTIAN DI BUKITTINGGI PADANG 2025 BERCUTI, MELAWAT DAN MENIKMATI ATRAKSI SENI PESONA TRIP RANAH MINANG 5 HARI 4 MALAM ...