Menurut Tambo Alam Minangkabau dan cerita dari nenek moyang kita yang turun menurun, asal muasal dari penduduk Minangkabau sekarang ini, berasal dari atau turun dari puncak gunung merapi, sesuai dengan pantun tua yg berbunyi :
Dari mano titik palito
Dari telong nan barapi
Dari mano asal nenek moyang kito Dari puncak Gunung Merapi
Kemudian dari Puncak Gunung Merapi turun ke Pariangan Padang Panjang, dan sekarang masih ada bukti sejarah berupa peninggalan kuburan panjang. Dengan panjang lebih kurang 24,7 meter. Sampai sekarang Pariangan terkenal dengan sebutan Nagari Tuo.
Dari Pariangan tersebut penduduk yang berkembang tadi menyebar keseluruhan daerah, mencari daerah yang ketinggian, yang ada sumber air, untuk bercocok tanam, berburu atau pun menangkap ikan dan sebagainya. Kemudian turun ke daerah yang datar akhirnya menetap, bersawah dan membuat rumah atau pondok.
Banjar
Kelompok kecil yang sudah menetap tadi disebut, “Banjar”, yang dipimpin oleh seorang yang dituakan dengan segala kelebihannya.
Taratak / dusun
Kumpulan dari kelompok-kelompok tadi menyatu menjadi kumpulan yang lebih besar dengan daerah yang lebih luas juga. Kumpulan dari kelompok-kelompok tadi disebut dengan “Taratak”, yaitu berupa kampung yang dihuni oleh 2 kelompok suku, juga disebut dengan “Dusun”.
Penduduk yang banyak tadi mulai membuat rumah yang agak permanen, bahkan ada yang pakai gonjong.
Koto
Perkampungan tahap ketiga ini disebut “Koto”, yang terdiri dari 3 suku yang dikepalai oleh tiga orang kepala suku.
Nagari
Kumpulan beberapa koto, yang penduduknya merupakan kesatuan dalam hukum adat / kebiasaan yang sama. Inilah yang disebut dengan “Nagari”, yang terdiri lebih kurang 4 suku, sehingga disebut Nagari yang Baampek Suku. Ini dijadikan dasar atau syarat secara adat berdirinya suatu Nagari di samping syarat-syarat lain sesuai dengan Undang-Undang atau Peraturan yang berlaku. Jadi proses timbulnya Nagari dari Banjar – Taratak – Dusun Koto – Nagari.
Melihat Nagari Saruaso sekarang ini, nampaknya Talago Gunung dan Kubang Landai lebih dulu menjadi Nagari, baru timbul Nagari Saruaso yang meliputi Talago Gunung dan Kubang Landai. Karena penduduk di Saruaso banyak yang berasal dari Kubang Landai dan Talago Gunung.
Nagari ba ampek suku
Dalam suku babuah paruik
Kampong ba nan tuo
Rumah batungganai
Dari Banjar jadi Taratak
Dari Taratak jadi Dusun
Dari Dusun jadi Koto
Dari Koto jadi Nagari
Menurut cerita orang tua kita, yang turun menurun sampai sekarang, Saruaso dulunya terbagi atas dua Nagari atau Kerajaan yang dipimpin oleh dua orang raja :
1. Nagari Balai Labuh Balik Awue yang terdiri 4 suku, yang sekarang kita kenal dengan suku Sumpu ,Melayu, Piliang, Caniago. Daerah ini dipimpin oleh Rajo Balai Awue, dibantu oleh 4 orang kepala suku.
2. Nagari Bala Labuh Tanjung Balik, yang terdiri dari 4 suku pula. Yaitu suku Mandeling , Kutianyir, Bendang, Ambancang Lilin. Daerah ini dipimpin oleh Raja Tanjung Balik. Siapa nama raja tersebut, tidak ada keterangan.
Kepala suku yang memimpin suku-suku tadi dikenal dengan nama Penghulu Suku atau Penghulu Nan Salapan.
Rajo Tanjung Balik dengan Rajo Balik Awue selalu berperang untuk menaklukkan daerah masing-masing, sehingga keamanan dan ketentraman masyarakat tidak tercapai, sehingga berpengaruh pula kepada kehidupan rakyatnya. Pertikaian kedua Raja tadi sampai sekarang masih ada bekasnya, walaupun Nagari sudah Bersatu.
Oleh karena pertikaian ini telah mempengaruhi penghidupan dan keamanan penduduk, maka Penghulu Nan Salapan tadi ditambah dengan cerdik pandainya, menyarankan agar kedua raja menyelesaikan pertikaian , untuk mendamaikan kedua raja, para penghulu kaum dan suku mengusulkan kedua raja bermain catur, untuk menghindari pertumpahan darah. bukit tersebut hingga sekarang di beri nama Bukit percaturan. Percaturan di adakan sebanyak dua kali dan raja tanjung balik kalah berturut - turut. Kemudian para penatua dan penghulu kaum bermusyawarah dan berencana memindahkan Rajo Tanjung Balik ke Bukik Gombak sekarang ini. Sebelum di hantar ke Awue sarumoun Raja di asingkan di RIMBO KALUANG ( KALUA WAANG = Keluar kamu ). Sehingga pada masanya Raja tanjung balik diantar bersama-sama menuju Bukik awue sarumpun. Karena sudah lama berjalan Raja tadi merasa haus, dan berhenti dekat sebuah sumur atau luak. Oleh karena air luak tadi tidak enak atau anyie, akhirnya Raja tidak jadi minum. Luak tersebut sampai sekarang bernama Luak Anyie
Kemudian Raja diantar secara bersama ke suatu tempat dekat perbatasan Saruaso dengan Pagaruyung sekarang, yang kita kenal dengan Sawah Uluran.
Kata soru - aso bermakna di seru untuk bersatu.Ke dua Raja di soru supaya oso, dianjurkan untuk bersatu.
Barulah nagari saruaso tenang. Setelah tidak terjadi pertikaian kedua raja.
Nagari Saruaso yang sudah berdiri terdiri dari delapan suku yaitu ; suku sumpu, suku melayu, suku piliang, suku caniago, suku ambacang lilin, suku mandahiliang, suku kutianyia.
Di Kubang Landai ada empat suku yaitu : suku melayu, suku mandahiliang, suku kampai ateh, dan suku kampai ampek rumah yang dulunya dikenal sebagai dengan suku simabue. Sedangkan di Talago Gunuang ada empat suku juga yaitu : suku koto, suku patopang, suku piliang, dan suku caniago.
( tulisan bersumber dari Roby Zr pemerhati sejarah dan budaya saruaso )
Prasasti Saruaso I merupakan salah satu dari prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman. Prasasti ini juga dinamakan dengan Prasasti Batu Bapahek. Prasasti ini dinamakan Prasasti Suruaso karena pada manuskripnya tersebut kata Sri Surawasa yang merupakan asal kata dari nama nagari Suruaso di (wilayah Kabupaten Tanah Datar sekarang). Prasasti ini berangka tahun 1297 Saka atau 1375 M.
Kira-kira 1 km dari Suruaso terdapat sebuah pengairan menembus bukit yang dipahat, jaraknya hanya sekitar 2 meter dari tepi Batang Selo, dimana di lokasi ini juga istana / rumah gadang Dara Jingga di bangun. Dimana pada bahagian kiri dan kanan saluran irigasi ini terdapat prasasti, dan salah satunya adalah prasasti ini. Prasasti ini menggunakan aksara Melayu dan sebuah lagi menggunakan aksara Nagari (Tamil). Pembangunan saluran irigasi ini dapat menunjukan kepedulian Adityawarman untuk peningkatan taraf perekonomian masyarakatnya dengan tidak bergantung dengan hasil hutan dan tambang saja.
Saat ini, prasasti masih berada di lokasi penemuannya (in situ) dan telah diberi atap tradisional Minangkabau sebagai pelindung, serta berada di bawah pengawasan BPCB Batusangkar.
Teks prasasti
Teks prasasti menurut pembacaan Kern, sbb.:
subhamastu //o// bhuh karṇṇe nava-darçaçane Saka gate Jeṣṭhe çaçi Manggale / sukle ṣaṣṭithir nṛpottamaguṇair [r] Ādittyavarmmanṛpaḥ / kṣettrajñaḥ racito Viçesadharaṇīnāmnā surāvāçavān hāçāno nṛpa āsanottamasadā khādyam pivan nissabhā // puṣpakoṭisahāçrāni / teṣāṁgandham pṛthak-pṛtak / Ādittyavarmmabhūpāla- / homagandho samo bhavet //
Penafsiran teks prasasti
Prasasti Saruaso I menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi, yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar