Di dalam adat minangkabau terdapat suatu budaya larangan perkawinan atau disebut dengan “perkawinan pantangan”. Perkawinan pantangan adalah perkawinan yang dapat merusak sistem kekerabatan, yaitu yang setali darah menurut garis keturunan matrilineal atau sasuku.
larangan kawin sasuku (sesuku) merupakan bagian penting dari adat dan budaya. Pernikahan sesuku, atau pernikahan dalam satu suku yang sama, dianggap terlarang karena suku dalam sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau dianggap sebagai satu keluarga besar. Pelanggaran terhadap larangan ini dapat mengakibatkan sanksi adat yang berat, seperti dikucilkan dari suku dan masyarakat, bahkan bisa dibuang dari kampung halaman.
Berikut adalah beberapa alasan mengapa larangan kawin sasuku berlaku dalam adat Minangkabau:
Sistem Kekerabatan Matrilineal:
Masyarakat Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal, di mana garis keturunan ditarik dari pihak ibu. Suku dianggap sebagai satu kesatuan keluarga besar, sehingga perkawinan sesuku dianggap sebagai perkawinan sedarah atau inses.
Mencegah Perkawinan Sedarah:
Larangan ini bertujuan untuk mencegah perkawinan sedarah yang dapat berisiko terhadap kualitas keturunan, baik secara biologis maupun sosial.
Menjaga Keutuhan Suku:
Pernikahan sesuku dianggap dapat merusak tatanan sosial dan struktur suku, karena dapat menimbulkan konflik internal dan hilangnya ikatan kekerabatan yang kuat.
Sanksi Adat:
Pelanggaran terhadap larangan ini akan dikenakan sanksi adat yang berat, seperti dikucilkan dari suku, denda, atau bahkan pengusiran dari kampung halaman.
Meskipun ada beberapa pengecualian atau kasus-kasus tertentu yang terjadi, larangan kawin sesuku tetap menjadi prinsip yang kuat dalam adat Minangkabau, yang bertujuan untuk menjaga kelestarian nilai-nilai budaya dan tatanan sosial masyarakat.
Alasan lain tentang larangan kawin satu suku
Menikah dengan satu suku menurut ajaran
minangkabau bukanlah hal yang baik sehingga bagi mereka yang melanggar akan dikenakan sanksi moral seperti dikucilkan dari pergaulan.
Beberapa alasan masyarakat minangkabau melarang perkawinan sasuku
diantaranya:
1. Pelopor Kerusakan dalam Kaum
Pernikahan sesuku dapat menimbulkan konflik besar.
Hal ini karena suami istri yang berasal dari sasuku yang artinya mereka badunsanak. Jika terjadi
perselisihan mereka akan mengadu ke orangtua masing-masing dan dapat menghancurkan suku. Seperti halnya negara yang lebih mudah hancur bila terjadi perselisihan antar rakyat daripada berselisih dengan negara lain.
2. Mempersempit Pergaulan
Mereka yang sesuku adalah orang-orang yang sedarah dan mempunyai garis keturunan yang sama yang secara turun temurun telah ditetapkan oleh tokoh dan ulama Minangkabau. Sehingga perkawinan sesuku ini tidak menciptakan perkembangan dalam tatanan keluarga atau suku.
3. Mengganggu Psikologis Anak
Jika perkawinan sesuku dilaksanakan maka akan tercipta konsekuensi adat, yaitu bagi mereka yang melaksanakannya maka tidak dianggap oleh kaum kerabat dan dikeluarkan dari masyarakat adat. Hal ini dapat menciptakan perlakuan rasis dan pengucilan yang berakibat pada terganggungnya psikologis anak.
4. Kehilangan Hak Secara Adat
Pasangan yang menikah sesuku dianggap di dalam sukunya dan tidak diterima oleh suku-suku lain di wilayah. Bagi laki-laki maka akan hilang hak
memegang jawatan (menjunjung sako) yang ada dalam sistem Adat Perpatih. Sedangkan bagi perempuan akan kehilangan hak atas segala harta pusaka suku.
5. Membawa Kerugian Materi
Karena telah melakukan kesalahan adat, pelaku pernikahan sesuku harus melakukan syarat-syarat yang ditetapkan dalam majelis yang diawasi oleh Ketua Suku. Untuk menerima mereka bergabung ke dalam ikatan keluarga dan suku maka pasangan tersebut harus menyediakan 50 gantang beras dan menghibahkan seekor kerbau atau lembu untuk mejelis, menjemput Ketua-Ketua Adat dengan penuh istiadat untuk menghadiri majelis, mengakui kesalahan serta meminta maaf di hadapan masyarakat khususnya anggota suku yang hadir.
Bahkan untuk menentang pelaksanaan perawinan sesuku, Kerapatan Adat Nagari kenagarian Koto Tangah mengeluarkan surat keputusan SK.04/KAN/KT/III/2016 tentang larangan kawin sasuku menurut adat yang berisi sebagai berikut:
oleh sebab itu Kerapatan Adat Nagari (KAN) telah melakukan beberapa kali persidangan, sehingga mengeluarkan keputusan sebagai berikut:
1) Diminta kepada RT dan RW untuk tidak menandatangani surat menyurat kedua mempelai.
2) Diminta kepada KUA untuk tidak melegalisasikan administrasi surat menyurat kedua mempelai yang bersangkutan.
3) Diminta kepada mamak kaum kedua belah pihak untuk tidak melakukan prosesi adat, mulai dari maminang, manjapuik marapulai, memakai pakaian perangkat untuk kedua mempelai dan tidak boleh melakukan proses batagak gala marapulai.
Surat keputusan tersebut dengan jelas mengatakan sekalipun agama membolehkan namun adat tetap melarang dan menentang perkawinan sesuku. Tentunya hal tersebut menimbulkan polemik dalam masyarakat karena budaya minangkabau merupakan budaya yang kental dengan ajaran Islam sebagaimana tatanan budaya minangkabau yaitu “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” yang artinya adat berdasarkan syariat, syariat berdasarkan kitab Allah atau Al-Quran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar