Senin, 28 April 2025

Danau Maninjau Warisan Bumi



Danau Maninjau terbentuk dari letusan gunung berapi yang diperkirakan terjadi sekitar 52.000 tahun yang lalu.Endapan dari letusan telah ditemukan dalam distribusi radial di sekitar Maninjau memanjang hingga 50 kilometer (31 mi) ke timur, 75 kilometer (47 mi) ke tenggara, dan barat ke garis pantai saat ini. Endapan tersebut diperkirakan tersebar di lebih dari 8,500 kilometer persegi (3,282 sq mi) dan memiliki volume 220–250 kilometer kubik (53–60 cu mi). Kaldera memiliki panjang 20 kilometer (12 mi) dan lebar 8 kilometer (5,0 mi).

Danau Maninjau merupakan sebuah danau berbentuk kaldera dengan ketinggian 459 meter di atas permukaan laut.Danau Maninjau merupakan danau vulkanik karena terbentuk dari letusan besar gunung api yang menghamburkan kurang lebih 220–250 km3 material piroklastik. Kaldera tersebut terbentuk karena letusan gunung api strato komposit yang berkembang di zona tektonik sistem Sesar Besar Sumatra yang bernama Gunung Sitinjau (menurut legenda setempat), hal ini dapat terlihat dari bentuk bukit sekeliling danau yang menyerupai seperti dinding. Kaldera Maninjau (34,5 km x 12 km) ditempati oleh sebuah danau yang berukuran 8 km x 16,5 km (132 km2). Dinding kaldera Maninjau mempunyai 459 m dari permukaan danau yang mempunyai kedalaman mencapai 157 m (Verbeek, 1883 dalam Pribadi, A. dkk., 2007).[4]

Menurut legenda di Ranah Minang, keberadaan Danau Maninjau berkaitan erat dengan kisah Bujang Sembilan. ( legenda )

Danau Maninjau merupakan sumber air untuk sungai bernama Batang Sri Antokan. Di salah satu bagian danau yang merupakan hulu dari Batang Sri Antokan terdapat PLTA Maninjau. Puncak tertinggi diperbukitan sekitar Danau Maninjau dikenal dengan nama Puncak Lawang. Untuk bisa mencapai Danau Maninjau jika dari arah Bukittinggi maka akan melewati jalan berkelok-kelok yang dikenal dengan Kelok 44 sepanjang kurang lebih 10 km mulai dari Ambun Pagi sampai ke Maninjau.

Danau ini tercatat sebagai danau terluas kesebelas di Indonesia. Sedangkan di Sumatera Barat, Maninjau merupakan danau terluas kedua setelah Danau Singkarak yang memiliki luas 129,69 km² yang berada di dua kabupaten yaitu Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok.

Danau Maninjau memiliki luas 99,5 kilometer persegi (38,4 sq mi), dengan panjang sekitar 16 kilometer (9,9 mi) dan lebar 7 kilometer (4,3 mi). Kedalaman rata-rata adalah 105 meter (344 ft), dengan kedalaman maksimum 165 meter (541 ft). Outlet alami untuk kelebihan air adalah sungai Antokan, yang terletak di sisi barat danau. Ini adalah satu-satunya danau di Sumatera yang memiliki outlet alami ke pantai barat. Sejak tahun 1983, air danau ini telah digunakan untuk menghasilkan Pembangkit Listrik Tenaga Air Maninjau untuk Sumatera Barat, yang dihasilkan sekitar 68 MW pada beban maksimum.

Sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar Danau Maninjau beretnis Minangkabau. Desa-desa di tepi danau antara lain Maninjau dan Bayur.


Dua spesies endemik yang dikumpulkan dari danau untuk konsumsi lokal dan untuk ekspor ke pasar di luar kawah adalah pensi, sejenis kerang kecil, dan palai rinuak, sejenis ikan kecil. Salah satu cara menyiapkan palai rinuak adalah dengan memanggang campuran ikan bersama kelapa dan bumbu, dibungkus dengan daun pisang.

Danau ini digunakan untuk akuakultur, menggunakan keramba jaring apung karamba. Teknik ini diperkenalkan pada tahun 1992 dan, pada tahun 1997, ada lebih dari 2.000 unit kurungan dengan lebih dari 600 rumah tangga yang terlibat. Setiap kandang dapat memiliki 3-4 siklus produksi setiap tahun. Ada bukti pencemaran di sekitar beberapa area karamba.

Di tepi danau, penggunaan lahan meliputi sawah di rawa-rawa dan lereng yang lebih rendah. Desa-desa tersebut dibatasi menanjak oleh sabuk besar taman pohon seperti hutan, yang larut ke hutan pegunungan atas di bagian lereng yang paling curam hingga ke punggungan kaldera.[6]

Kebun pohon mencakup tiga komponen khas:

1. Pohon buah-buahan termasuk durian, nangka, cempedak, rambutan, langsat, golden berries dan jambu air.

2. Spesies kayu termasuk Toona sinensis dan Pterospermum javanicum.

3. Pohon rempah-rempah termasuk kayu manis, kopi, pala dan kapulaga.


Presiden pertama Indonesia, Sukarno, mengunjungi daerah itu pada awal Juni 1948. Sebuah pantun yang dia tulis tentang danau berbunyi:

Jangan dimakan arai pinang,

Kalau tidak dengan sirih hijau.

Jangan datang ke Ranah Minang,

Kalau tidak singgah ke Maninjau.


Danau Maninjau adalah danau vulkanik yang terletak di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, dan menjadi salah satu destinasi wisata favorit di wilayah tersebut. Berikut adalah beberapa objek wisata yang bisa kamu kunjungi di sekitar Danau Maninjau:

1. Puncak Lawang

Tempat ini berada di ketinggian, menawarkan pemandangan spektakuler Danau Maninjau dari atas. Cocok untuk fotografi dan paralayang.

2. Kelok 44

Jalan berliku dengan 44 tikungan yang menurun menuju Danau Maninjau dari arah Bukittinggi. Sepanjang jalan, kamu bisa menikmati pemandangan indah dan suasana sejuk.

3. Pantai Pasir Kuning Maninjau

Sebuah pantai kecil di pinggir danau dengan pasir yang agak kuning dan air yang jernih, cocok untuk berenang atau bersantai.

4. Museum Buya Hamka

Rumah kelahiran Buya Hamka yang kini dijadikan museum. Terletak di pinggir danau, tempat ini menawarkan nuansa sejarah dan budaya Minangkabau.

5. Bendungan PLTA Maninjau

Pembangkit listrik tenaga air ini menjadi daya tarik tersendiri karena terintegrasi langsung dengan danau.

6. Perkampungan Nelayan

Di sekeliling danau terdapat kampung-kampung nelayan yang menawarkan pengalaman budaya lokal dan bisa melihat keramba ikan.

7. Air Terjun di Sekitar Danau

Ada beberapa air terjun kecil yang bisa dijangkau dengan trekking singkat, seperti Air Terjun Gadih Ranti.

8. Aktivitas Wisata Air

Seperti berperahu, memancing, atau sekadar menyusuri danau dengan kano.


Apakah kamu sedang merencanakan perjalanan ke sana? Saya bisa bantu buatkan rencana 

Hubungi whatsapp : +6282283435000




Menguak Tambo Rang Kurai ( luhak Agam )



Assalaamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh.

Tulisan ini saya copy dari TAMBO RANG KURAI tulisan St Batuah, sebagai tambahan informasi yang masih minim tentang sejarah dan bagaimana awal mula rang kurai mendiami kawasan bukittinggi.
#credit untuk St Batuah

Tambo (sejarah) Kurai Lima Jorong - Bukittinggi
Berdasarkan penuturan Dt. Saribasa yang bersumber pula dari Dt. Mangulak Basa dan kemudian ditulis oleh Dt. Rangkayo Tuo, disebutkan bahwa yang mula-mula datang untuk bermukim di Kurai Limo Jorong adalah dua rombongan yang datang dari Pariangan Padang Panjang. Kedua rombongan itu yang berjumlah kurang aso saratuih (+100) orang, mula-mula menuju Tanjung Alam dalam Nagari Sungai Tarap, sesudah itu terus menuju ke suatu tempat yang bernama Padang Kurai. 

Disini rombongan itu kemudian terbagi dua, yaitu Rombongan Pertama menuju ke Tanjung Lasi dan Rombongan Kedua menuju ke Biaro Gadang.
Rombongan pertama, yang dikepalai oleh Bandaharo nan Bangkah, dari Tanjung Lasi terus ke Kubang Putih, kemudian terus ke hilir, berhenti di suatu tempat yang dinamai Gurun Lawik (daerah Kubu Tinggi sekarang dalam Jorong Tigo Baleh). 

Selanjutnya perjalanan diteruskan melalui Babeloan, berbelok ke Puhun (Barat) dan sampailah di suatu tempat yang kemudian diputuskan untuk bermukim di situ. Tempat itu oleh Bandaharo nan Bangkah dinamai Koto Jolong (Pakan Labuah sekarang, dalam Jorong Tigo Baleh). Rombongan yang datang dari arah Mudik (Selatan) ini adalah rombongan yang pertama yang sampai di Kurai Limo Jorong.

Rombongan kedua dipimpin oleh Rajo Bagombak gelar Yang Pituan Bagonjong. Ibunda Yang Pituan Bagonjong bernama Puti Ganggo Hati dan adiknya bernama Puti Gumala Ratna Dewi juga ikut dalam rombongan. Dari Biaro Gadang, yaitu dari arah Ujung (Timur), rombongan ini kemudian menuju ke suatu tempat yang dinamai Pautan Kudo (daerah persawahan di Parit Putus sekarang ini dan menjadi pusaka turun temurun Yang Dipituan Bagonjong), yaitu tempat dimana Yang Pituan Bagonjong menambatkan kudanya untuk beristirahat terlebih dahulu. Kemudian perjalanan diteruskan menuju ke suatu tempat yang dinamai Koto Katiak dan akhirnya sampai juga di Koto Jolong.

Setelah kedua rombongan berkumpul kembali maka terasa tempat permukiman tidak mencukupi untuk semua anggota rombongan, sehingga perlu diadakan musyawarah untuk bermufakat tentang pengembangannya. Dicapailah kata mufakat untuk membuat sebuah perkampungan lagi di sebelah Hilir (Utara) yang kemudian diberi nama Gobah Balai Banyak (Balai Banyak sekarang, dalam Jorong Tigo Baleh). Perkampungan ini dibatasi parit di sebelah Ujung (Timur) yang dinamai Parit Tarantang (Parik Antang sekarang, dalam Jorong Tigo Baleh) dan parit di sebelah Puhun (Barat) yang dinamai Parit Tuo (Tambuo sekarang).

Setelah beberapa lama kemudian diadakan lagi mufakat untuk memilih dan mengangkat beberapa orang menjadi Tuo-tuo yang akan mengurus kedua rombongan itu sehari-harinya. 

Hasil mufakat menetapkan sejumlah 13 orang yang disebut Pangka Tuo, yaitu 6 orang untuk ditempatkan di Hilir (Utara) dan 7 orang untuk ditempat-kan di sebelah Mudik (Selatan) dan masing-masingnya diberi gelar Datuak.

Semua Pangka Tuo tersebut adalah saadaik salimbago (berada dalam satu kelembagaan) yang disebut Panghulu Nan Tigo Baleh. Dari nama kelembagaan tersebut maka daerah pemukiman itu kemudian diberi nama Tigo Baleh (Tiga Belas).

Adapun 6 orang Pangka Tuo yang di Hilir (Urang Nan Anam) adalah:
- Dt. Gunung Ameh / Dt. Indo Kayo    
- Dt. Mangkudun    
- Dt. Panduko Sati    
- Dt. Sikampuang    
- Dt. Mangulak Basa    
- Dt. Sari Basa

Dan 7 orang pangka tuo di mudiak :
- Dt. Rangkayo Basa
- Dt. Nan Adua
- Dt. Mantiko Basa / Dt. Kapalo Koto
- Dt. Asa Dahulu
- Dt. Maruhun
- Dt. Pado Batuah
- Dt. Dunia Basa

Dengan suku suku :
  1. Suku Guci
  2. Suku Pisang
  3. Suku Sikumbang
  4. Suku Jambak
  5. Suku Tanjuang
  6. Suku Salayan
  7. Suku Simabua
  8. Suku Koto
  9. Suku Malayu

  1. Jorong Mandiangin
  2. Jorong Guguk Panjang
  3. Jorong Koto Salayan
  4. Jorong Tigo Baleh
  5. Jorong Aur Birugo

   - Dt. Dadok Putiah  suku Pisang
   - Dt. Majo Labiah  suku Sikumbang
   - Dt. Barbangso  suku Tanjuang
   - Dt. Kampuang Dalam suku Koto
   - Dt. Kuniang  suku Guci
   - Dt. Nan Gamuak  suku Salayan
   - Dt. Pangulu Basa suku Jambak
   - Dt. Majo Sati  suku Tanjuang
   - Dt. Subaliak Langik suku Guci
   - Dt. Sunguik Ameh suku Pisang
   - Dt. Tan Ameh  suku Jambak
   - Dt. Malayau Basa suku Simabua
   - Dt. Indo Kayo Labiah suku Pisang
   - Dt. Rangkayo Basa suku Sikumbang
   - Dt. Nan Adua  suku Koto

   "Manti nan Sambilan" atau sekarang disebut Panghulu nan Sambilan   "Dubalang nan Duo Baleh" atau sekarang disebut Panghulu nan Duo Baleh
  -  Penghulu Pucuak nan Sambilan
  -  Penghulu Pucuak nan Duo Baleh 

Empat penghulu yang dianggap termasuk Nan Duo Baleh atau Nan Duo Puluah Anam.
  1. Ninik Mamak Pangka Tuo Nagari
  2. Ninik Mamak Pangka Tuo Kampuang
  3. Ninik Mamak Pangka Tuo Kubu
  4. Ninik Mamak Pangka Tuo Hindu

Pucuak Nan Balimo
Panghulu Pucuak Nan Sambilan
Panghulu Pucuak Nan Duobaleh

Dt. Malaka, Dt. Panghulu Basa, Dt. Rangkayo Basa dan Dt. Simajo nan Panjang juga disebut Basa Ampek Balai.

Acara Adat Mendirikan Panghulu
Sedangkan 7 orang Pangka Tuo yang di Mudiak (Urang Nan Tujuah) adalah:
Sebutan Urang Nan Anam dan Urang Nan Tujuah sampai sekarang masih tetap dipakai untuk menunjukan keutamaan gelar kepenghuluan yang bersangkutan sebagai gelar pusaka yang diwarisi dari Tuo-tuo yang mula-mula datang bermukim di Kurai Limo Jorong, terutama dalam mengatur posisi duduk dalam pertemuan adat (Lihat "Acara Adat Mendirikan Penghulu").

Sesuai ketentuan di ranah Minang pada umumnya, perkawinan hanya diperbolehkan antar suku, sedangkan kesukuan ditentukan berdasarkan garis keturunan ibu.

Jumlah suku seluruhnya ada 9 suku yaitu:
  1. Suku Guci
  2. Suku Pisang
  3. Suku Sikumbang
  4. Suku Jambak
  5. Suku Tanjuang
  6. Suku Salayan
  7. Suku Simabua
  8. Suku Koto
  9. Suku Malayu

Dari hasil perkawinan antar suku tersebut, para pemukim di Tigo Baleh mempunyai keturunan yang makin lama makin banyak. Pemukiman yang semula hanya di dua tempat, yaitu Pakan Labuah dan Balai Banyak, meluas mulai dari daerah Parak Congkak, Ikua Labuah sampai ke Kapalo Koto. Akhirnya dalam Kerapatan Adat yang diadakan di Parak Congkak diputuskan untuk memindahkan sebagian pemukim menyeberangi parit Tambuo ke sebelah Puhun (Barat), untuk membuka tempat-tempat pemukiman baru.

Sistem Pemerintahan Menurut Adat Kurai Limo Jorong
Seluruh daerah pemukiman, termasuk Tigo Baleh, kemudian diberi nama Kurai dan dibagi menjadi 5 bagian, masing-masing disebut Jorong atau Nagari (sehingga disebut juga Kurai Limo Jorong). Kelima jorong tersebut masing-masing kemudian diberi nama:

  1. Jorong Mandiangin
Dalam Kerapatan Adat tersebut juga diputuskan bahwa tatkala sebagian dari Panghulu nan Tigo Baleh akan meninggalkan Tigo Baleh maka kelembagaan tersebut terbagi menjadi 2 bagian yaitu Panghulu nan Tigo Baleh di Dalam dan Panghulu nan Tigo Baleh di Lua.

Panghulu Nan Tigo Baleh di Dalam adalah sebagian aggota Panghulu nan Tigo Baleh yang tetap tinggal di Tigo Baleh ditambah dengan beberapa orang Tuo-tuo sebagai penghulu yang baru, semuanya berjumlah 14 orang. 

Sedangkan Panghulu Tigo Baleh di Lua adalah sebagian anggota Panghulu nan Tigo Baleh yang meninggalkan Tigo Baleh, ditambah dengan beberapa orang Tuo-tuo sebagai penghulu yang baru, yang ikut pindah ke jorong-jorong yang lainnya, semuanya berjumlah 12 orang.

Selanjutnya dalam setiap Jorong diangkat masing-masing 4 orang Pangka Tuo Nagari yang secara kelembagaannya seluruhnya disebut Panghulu nan Duopuluah sebagai berikut:

  1. Jorong Mandiangin   - Dt. Malako Basa  suku Pisang
  2. Jorong Koto Salayan   - Dt. Nan Basa  suku Pisang
  3. Jorong Guguak Panjang   - Dt. Nagari Labiah suku Jambak
  4. Jorong Aur Birugo   - Dt. Majo Nan Sati suku Guci
  5. Jorong Tigo Baleh   - Dt. Mangkudun  suku Guci

Selang beberapa lama kemudian terbentuklah secara mufakat Penghulu nan Duo Puluah Anam, yaitu suatu lembaga yang akan menjalankan adat di Kurai Limo Jorong. Lembaga ini terdiri dari 26 orang penghulu, yaitu:

   "Penghulu nan Balimo" atau sekarang disebut Pucuak Nan Balimo
Disamping itu ada lagi yang disebut "Pangka Tuo Nan Saratuih", yaitu Niniak Mamak yang di masing-masing jorong berfungsi sebagai Pangka Tuo KubuPangka Tuo HinduPangka Tuo Kampuang dan Pangka Tuo Banda.

Pangka Tuo Kubu dan Pangka Tuo Hindu berkuasa di tempatnya (kubu) masing-masing. Pangka Tuo Kubu yang tertinggi adalah Dt. Samiak dan Dt. Balai.

Pangka Tuo Kampuang berkuasa di kampung masing-masing, bekerja sama dengan Pangka Tuo Kubu dan Pangka Tuo Hindu. Dt. Panduko Sati (Tanjuang) adalah Pangka Tuo Kampuang yang tertinggi di Kurai.

Pangka Tuo Banda adalah terutama berfungsi di daerah persawahan, yaitu diangkat untuk mengatur secara teknis pembagian air ke sawah-sawah.

Pangka Tuo Nagari yang berkuasa penuh di Jorong (nagari) masing-masing dibantu serta bekerjasama dengan Pangka Tuo Kampuang, Pangka Tuo Kubu dan Pangka Tuo Hindu. Dalam kerjasama tersebut dipimpin oleh Penghulu Pucuak yang ada dalam Jorong yang bersangkutan.

Dengan demikian maka tingkatan kepenghuluan di Kurai Limo Jorong adalah sebagi berikut:

  1. Penghulu Pucuak Nan Balimo
Pangka Tuo Banda tidak termasuk dalam tingkatan kepenghuluan karena penghulu ini hanya mempunyai tugas dan kewajiban khusus menyangkut teknis pengairan dan tidak mempunyai wewenang dan tanggung jawab dari segi adat.
Semuanya itu disebut Niniak Mamak nan Balingka Aua yang dengan Panghulu nan Duo Puluah Anam merupakan Pucuak Bulek Urek Tunggang dalam Lembaga Kerapatan Adat Kurai Limo Jorong.
Semua penghulu disebut "nan gadang basa batuah". Yang meng"gadang"kan adalah bako dan anak pusako, yang mem"basa"kan adalah nagari dan yang me"nuah"kan adalah anak kamanakan.

Pucuak  nan Balimo adalah pimpinan adat tertinggi di Kurai Limo Jorong yang aggotanya terdiri dari:

  - Dt. Bandaharo  suku Guci
  - Dt. Yang Pituan   suku Pisang
  - Dt. Sati    suku Sikumbang
  - Dt. Rajo Mantari   suku Jambak
  - Dt. Rajo Endah   suku Tanjuang

Pucuak Bulek nan Balimo diketuai oleh Dt. Bandaharo. Setiap keputusan yang telah dimufakati oleh Penghulu Pucuak nan Sembilan serta Penghulu Pucuak nan Duo Baleh mula-mula dihantarkan kepada Dt. Rajo Endah, kemudian diteruskan kepada Dt. Rajo Mantari, selanjutnya kepada Dt. Sati dan kemudian kepada Dt. Yang Pituan sebelum akhirnya kepada Dt. Bandaharo untuk diputuskan secara bulat, sarupo pisang gadang, dibukak kulik tampak isi, lalu dimakan habih-habih.
Dt. Bandaharo disebut pusek jalo pumpunan ikan, mamacik kato nan bulek. Juga dikenal sebagai nan basawah gadang.
Dt. Yang Pituan, dikenal sebagai nan batabuah larangan karena tugasnya untuk mengumpulkan / memanggil seluruh ninik-mamak / penghulu Kurai Limo Jorong untuk hadir dalam suatu acara adat, dibantu oleh Dt. Panghulu Sati dan Dt. Panghulu Basa.
Dt. Sati, dikenal sebagai nan bapadang puhun atau bapadi sakapuak hampo, baameh sapuro lancuang dan tetap di Campago, Mandiangin, sehingga disebut juga gadang sabingkah tanah di Mandiangin.
Dt. Rajo Mantari, dikenal sebagai nan baguguak panjang dan dikatakan gadang sabingkah tanah di Guguak Panjang.
Dt. Rajo Endah, dikenal sebagai nan babonjo baru (di daerah Tarok).

Panghulu Pucuak nan Sambilan berfungsi untuk membulatkan keputusan hasil mufakat Panghulu nan Duo Baleh, bulek sarupo Inti, sebelum dihantarkan kepada Pucuak Bulek nan Balimo. Yang termasuk Panghulu nan Sambilan adalah:

 - Dt. Pangulu Sati  suku Tanjuang
 - Dt. Maharajo  suku Guci
 - Dt. Batuah  suku Sikumbang
 - Dt. Kayo  suku Jambak
 - Dt. Sinaro  suku Simabua
 - Dt. Putiah  suku Pisang
 - Dt. Nan Baranam suku Salayan
 - Dt. Bagindo Basa suku Koto
 - Dt. Rajo Mulia  suku Pisang

Dt. Pangulu Sati adalah pimpinan adat Panghulu nan Sambilan.
Dt. Maharajo menguatkan pimpinan adat, memimpin penyelesaian masalah-masalah adat dibantu oleh Dt. Batuah dan Dt. Kayo.
Dt. Panghulu Sati, Dt. Maharajo, Dt. Batuah dan Dt. Kayo disebut manti atau Basa Ampek Balai, yang berfungsi untuk mengambil keputusan menurut adat.
Dt. Sinaro bersama-sama Dt. Putiah mengambil keputusan menurut adat, salangkah indak lalu, satapak indak suruik, maampang tuhua mamakok mati dan buliah suruik lalu.
Dt. Nan Baranam dikenal bataratak bakoto asiang.
Dt. Bagindo Basa dikenal baparik bakoto dalam.
Dt. Rajo Mulia dikenal sebagai nan bungsu dari nan sambilan.

Panghulu Pucuak nan Duo Baleh berfungsi untuk merumuskan keputusan hasil mufakat Panghulu nan Sambilan, mamicak-micak sarupo Pinyaram, sebelum dihantarkan kepada Panghulu Pucuak nan Sambilan. Yang termasuk Panghulu nan Duo Baleh adalah:

 - Dt. Malaka   suku Guci
 - Dt. Pangulu Basa  suku Sikumbang
 - Dt. Simajo Nan Panjang  suku Tanjuang
 - Dt. Rangkayo Nan Basa  suku Jambak
 - Dt. Garang   suku Koto
 - Dt. Bagindo   suku Pisang
 - Dt. Tan Muhamad  suku Salayan
 - Dt. Nan Angek   suku Pisang
 - Dt. Panjang Lidah  suku Simabua
 - Dt. nan Labiah   suku Pisang
 - Dt. Palimo Bajau  suku Tanjuang
 - Dt. Tumbaliak   suku Guci

Dt. Bagindo, dalam acara Mendirikan Penghulu adalah penghulu yang pertama menerima bagian daging dan tidak seperti untuk penghulu yang lainnya daging tersebut dicincang terlebih dahulu. Dt. Bagindo juga berfungsi menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara penghulu-penghulu di Kurai Limo Jorong. Disamping itu setiap kali mengadakan pertemuan antara penghulu-penghulu, untuk acara apapun, Dt. Bagindo juga berfungsi menyediakan makanan/minuman. Untuk itu Dt. Bagindo mempunyai sawah paduan yaitu sawah yang hasilnya oleh Dt. Bagindo digunakan untuk membiayai penyelenggaraan setiap pertemuan tersebut. 

Dt. Bagindo dibantu oleh Dt. Putiah dan Dt. Rajo Mulia.
Dt. Simarajo Nan Panjang pada masa dahulu adalah penghulu yang jabatannya menguasai semua kubu-kubu di Kurai Limo Jorong dan menjagainya.
Dt. Nan Angek dan Dt. Putiah disebut urang Pisang ampek rumah.
Dt. Panghulu Basa dan Dt. Batuah disebut bagobah di Balai Banyak.
Dt. Garang dan Dt. Bagindo Basa baparik Koto Dalam.
Dt. Tan Muhamad disebut babingkah tanah dan adalah panghulu yang bungsu di antara Panghulu Nan Duo Baleh.
Termasuk juga dalam Panghulu Nan Duo Baleh adalah Dt. Batuduang Putiah (Pisang), Dt. Nan Laweh (Pisang), Dt. Asa Basa (Jambak) dan Dt Majo Basa (Jambak). Kalau ada acara meresmikan Pangka Tuo Banda secara adat, maka ke-empat penghulu ini bekerjasama satu sama lain menjadi cancang mahandehan, lompek basitumpu. Yang tertinggi atau sebagai pimpinan dalam kerjasama di antara ke-empat penghulu ini, adalah Dt. Batuduang Putih.

Acara adat mendirikan penghulu adalah acara adat dalam rangka "mengukuhkan" pemakaian gelar pusaka oleh seseorang yang sebelumnya telah dicalonkan menjadi seorang Penghulu/Ninik mamak sehingga untuk selanjutnya penghulu yang bersangkutan berwenang dan bertanggung-jawab melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam menjalankan adat sesuai menurut tingkatannya di Kurai Limo Jorong.
Umumnya acara adat mendirikan penghulu  diadakan dalam bentuk sebuah perhelatan di sebuah Rumah Gadang yang sekurang-kurangnya berukuran tigo ruang. Rumah Gadang yang digunakan tersebut batirai balangik-langik, batabia bapaka, badulang badalamak, bacerek bacarano, baaguang batalempong, bamarawa bagaba-gaba, bapayuang-panji bapaga-jendela.

Setiap rumah gadang terdiri dari tigo ririk dan tempat duduk para penghulu diatur oleh juaro sesuai menurut kategori masing-masing penghulu sebagai Panghulu Nan Tigo Baleh, yaitu:
Ririk Satu, yaitu di sebelah biliak (ruang tidur) adalah tempat duduk yang disediakan untuk Ninik Mamak yang termasuk Panghulu Nan Anam.
Ririk Duo, yaitu sebelah pintu ke kanan adalah tempat duduk yang disediakan untuk Ninik Mamak yang termasuk Panghulu Nan Tujuah.
Ririk Tigo, yaitu di ruang tengah adalah tempat duduk yang disediakan untuk Ninik Mamak yang termasuk Panghulu Nan Anam & Nan Tujuah.

Tergantung tingkatan gelar pusaka yang akan dikukuhkan, acara perhelatan adat Mendirikan Penghulu dibedakan atas:

Mendirikan Panghulu Pucuak Nan Balimo dan atau Panghulu Pucuak Nan Sambilan
Acara ini diselenggarakan dengan memotong satu ekor kerbau dan satu ekor sapi. Daging kerbau untuk dibagi-bagikan kepada seluruh Ninik Mamak di Kurai Limo Jorong, sedangkan daging sapi untuk dimasak dan kemudian dimakan habis.

Mendirikan Panghulu Nan Duo Baleh
Acara ini diselenggarakan dengan memotong satu ekor Sapi untuk dimasak dan kemudian dimakan habis.

Mendirikan Panghulu Urek Tunggang
Acara ini diselenggarakan cukup dengan menyediakan kepala kerbau untuk dimasak dan kemudian dimakan habis.
Dilihat dari sifat dan latar belakang diadakannya, acara mendirikan Panghulu dapat dibedakan lagi sebagai berikut:

Patah Tumbuah, Hilang Baganti
Diadakan karena penghulu yang memakai gelar pusaka yang bersangkutan telah meninggal dunia. Patah tumbuah artinya dari yang patah itu tumbuh penggantinya, yaitu dari kapalo ka bahu, dari mamak ka kamanakan artinya calon penggantinya adalah generasi langsung dalam garis keturunan ibu. Hilang Baganti artinya bila tidak ada lagi generasi yang berikutnya secara langsung dari garis keturunan ibu atau disebut sudah punah, maka dicarikan penggantinya yang sagagang atau yang yang basabalahan gagang dari penghulu yang meninggal. Gelar pusaka yang bersangkutan dipakaikan kepada calon penggantinya pada waktu memandikan jenazah dan acara Mendirikan Penghulu dilkasanakan pada waktu "tanah pemakaman masih merah". Acara ini dilaksanakan menurut adat disebut sasukek hanguih, sarandam basah, artinya "perhelatan sekali habis".

Hiduik Bakarilahan, Mati Batungkek Budi
Diadakan karena penghulu yang memakai gelar pusaka yang bersangkutan, oleh karena sesuatu hal perlu diganti atau dipindahkan gelarnya kepada orang lain. Hiduik bakarilahan artinya penghulu yang bersangkutan sudah tidak kuasa lagi memikul tugas dan tanggung-jawab menjalankan adat, bukik nan didaki alah tinggi, lurah nan dituruni alah dalam. Acara perhelatannya menurut adat balapiak basah badaun cabiak (seperti perhelatan menyempurnakan penghulu). Yang dimaksud mati batungkek budi adalah dari mamak ke kemenakan atau ke cucu dan seterusnya dari garis keturunan ibu. Acara perhelatannya sama dengan acara perhelatan patah tumbuh hilang baganti.

Gadang Balega, Pusako Basalin
Yang dikatakan gadang balega yaitu kalau seorang penghulu telah sempurna menurut adat (telah "berhelat"), kalau dia meninggal maka gelar pusakanya dipakaikan kepada legarannya. Yang dikatakan pusako basalain yaitu kalau seorang penghulu meninggal maka harta pusaka peninggalannya jatuh kepada warisnya menurut adat. Acara perhelatannya menurut adat cukup sesuai rukun dan syaratnya seperti perhelatan menyempurnakan penghulu.

Gadang Samparono, Tungkek Badiri
Yaitu bilamana seorang penghulu pucuak telah sempurna menurut adat (telah "berhelat"), maka  didirikan tungkek sebagai pengganti. Kalau penghulu yang bersangkutan meninggal maka tungkek tersebut dipakaikan kepada legarannya. Acara perhelatannya sama seperti perhelatan gadang balega pusako basalin.

Lamah Bapandano, Condong Bapanungkek
Yaitu bilamana seorang penghulu, oleh karena sesuatu hal, tidak dapat menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai penghulu, maka penghulu yang bersangkutan boleh mewakilkannya kepada kemenakan atau cucunya, akan tetapi wewenang dan tanggung jawab adat tetap dipegang oleh penghulu yang bersangkutan. Acaranya boleh dengan perhelatan besar atau kecil asal balapiak basah badaun cabiak.

Mambangkik Batang Tarandam
Yaitu memakaikan gelar pusaka yang sudah lama tidak dipakai. Perhelatannya boleh besar atau kecil atau cukup dengan bertahlil saja.

Semoga dengan tulisan ini, dapat kita jadikan sebagai keilmuan dalam penyampaian informasi kepada para wisatawan atau pun untuk kajian akademis dalam menggali sejarah masa lampau.
Juga dapat bermanfaat dalam penginformasian Keragaman adat budaya sebagai pilar geopark ngarai sianok maninjau.

Dan penulis juga mengharapkan input dan masukan agar tulisan ini menjadi lebih sempurna.
Wassalam...

Sabtu, 26 April 2025

Trip Luhak Agam - Bukittinggi

Info trip percutian luhak agam :


Luhak Agam juga dikenal sebagai Luhak nan Tangah karena merupakan luhak kedua yang berdiri setelah Luhak Tanah Datar. Luhak Agam juga merupakan bagian dari Luhak nan Tigo bersama dengan Luhak Tanah Datar dan Luhak Limopuluah. Selain itu, Luhak Agam memiliki ungkapan khas "buminyo angek, aianyo karuah, ikannyo lia" yang menggambarkan masyarakatnya yang keras, heterogen, dan persaingan hidup yang tajam.
Juga merupakan bahagian dari Luhak nan Tigo:
Bersama dengan Luhak Tanah Datar dan Luhak Limopuluah, Luhak Agam membentuk apa yang dikenal sebagai Luhak nan Tigo (Luhak Tiga).  
"Buminyo angek, aianyo karuah, ikannyo lia":
Ungkapan ini menggambarkan sifat-sifat masyarakat Luhak Agam yang keras, heterogen, dan persaingan hidup yang ketat. 
Menurut Tambo, awal mula didirikannya Luak Agam ialah perpindahan penduduk dari nagari Pariangan yang berlangsung selama empat periode. Periode pertama, melahirkan empat buah nagari, yakni Biaro, Balai Gurah, Lambah dan Panampuang. Kemudian di periode kedua, melahirkan empat buah nagari, yakni Lasi, Canduang, Kurai dan Banuhampu. Periode ketiga, melahirkan 4 buah nagari, yakni Sianok, Koto Gadang, Guguak dan Tabek Sarojo. Dan di periode keempat, melahirkan lima buah nagari, yakni Sariak, Sungai Puar, Batagak dan Batu Palano.
Kemudian lahir pula nagari-nagari lainnya seperti Kapau, Gadut, Salo, Koto Baru, Magek, Tilatang Kamang, Tabek Panjang, Pincuran Puti, Koto Tinggi, Simarasok dan Padang Tarok.
Rantau :
Rantau Tiku Pariaman/Piaman Laweh, Rantau Pasaman (Pasaman Barat)

Ujuang Darek Kapalo Rantaunya :
Garagahan Lubuak Basuang
Sitalang dan Tigo Koto Batu Kambiang
Bonjo dan Lubuak Sikapiang
Padang Alai dan Tandikek
Sejarah secara Tambo :
Rombongan yang menemukan dan mendirikan Luhak Agam adalah rombongan yang dipimpin oleh Datu' Parpatiah Nan Sabatang. Rombongan ini, bersama dengan rombongan lainnya, mendirikan berbagai nagari di daerah yang sekarang dikenal sebagai Luhak Agam

Tempat - tempat indah untuk di lawati :
- rumah hamka
- tasik maninjau
- kelok 44
- puncak lawang
- kerbau berspek mata
- kampong koto gadang silver work
- tasik purba banto royo
- tasik unik tarusan
- gunung singgalang
- pantai tiku
- muaro mati





Jumat, 25 April 2025

bukittinggi - minangkabau - sumatera barat

Bukittinggi memiliki sejarah panjang dan kaya, dimulai dari masa kolonial Belanda hingga era kemerdekaan. Kota ini, yang dulunya dikenal sebagai Fort de Kock, menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan di dataran tinggi Minangkabau. Bukittinggi juga dikenal sebagai tempat kelahiran beberapa tokoh penting, seperti Mohammad Hatta dan tokoh pendiri Republik Indonesia lainnya. 

Sejarah kota bukittinggi :
- Masa Kolonial Belanda
Bukittinggi dikuasai Belanda sejak tahun 1837 setelah mengalahkan kaum Padri.
Ditetapkan sebagai ibu kota residensi Padangsche Bovenlanden (Padang Dataran Tinggi).
Dijuluki sebagai "Paris van Sumatra" karena keindahan dan kemegahannya.
Pembangunan benteng Fort de Kock sebagai pertahanan.
Kota ini menjadi tempat peristirahatan para opsir Belanda.
Pembangunan Gemetelyk Resort pada tahun 1828 menandai peningkatan peran Bukittinggi dalam ketatanegaraan. 

Peninggalan Sejarah:
Jam Gadang: Menara jam bersejarah yang menjadi ikon Bukittinggi.
Istana Bung Hatta: Peninggalan bersejarah yang menjadi saksi perjuangan kemerdekaan.
Lubang Jepang: Terowongan peninggalan Jepang yang menjadi saksi bisu Perang Dunia II.
Fort de Kock: Benteng bersejarah peninggalan Belanda.
Rumah Kelahiran Bung Hatta: Tempat kelahiran Mohammad Hatta. 
- Bukittinggi menurut Tambo :
Menurut tambo, sejarah Bukittinggi terkait erat dengan sejarah Minangkabau secara umum, yang dimulai dari wilayah Pariangan di kaki Gunung Marapi. Pariangan kemudian menjadi pusat peradaban Minangkabau, dan wilayah ini terus berkembang ke berbagai daerah, termasuk ke Bukittinggi. Nama "Minangkabau" sendiri, menurut tambo, berasal dari cerita tentang adu kerbau yang dimenangkan oleh penduduk lokal melawan pasukan asing. 
Berikut adalah beberapa poin penting tentang sejarah Bukittinggi menurut tambo:
Pariangan sebagai Pusat Peradaban:
Pariangan, yang terletak di kaki Gunung Marapi, dianggap sebagai tempat asal dan pusat peradaban Minangkabau. 

Perkembangan dan Penyebaran:
Dari Pariangan, peradaban Minangkabau menyebar ke berbagai daerah, termasuk bukittinggi.

Tambo tidak hanya menjelaskan asal-usul Minangkabau, tetapi juga sejarah berbagai wilayah di Minangkabau, termasuk Bukittinggi. Tambo dianggap sebagai warisan budaya dan sejarah yang penting bagi masyarakat Minangkabau

- Asal usul Bukittinggi dari Suku Kurai
Asal-Usul Orang Kurai
Orang Kurai merupakan salah satu suku dalam etnis Minangkabau yang telah lama mendiami wilayah yang kini dikenal sebagai Kota Bukittinggi. Mereka diyakini berasal dari kelompok masyarakat yang pertama kali menetap di daerah ini dan membangun struktur sosial yang kuat berdasarkan adat dan budaya Minangkabau. Sejarah mencatat bahwa Orang Kurai merupakan bagian dari masyarakat yang hidup dalam sistem nagari, yang menjadi tatanan pemerintahan tradisional Minangkabau.

Menurut cerita turun-temurun, nenek moyang Orang Kurai merupakan bagian dari kelompok yang melakukan migrasi dari daerah darek (dataran tinggi) Minangkabau menuju kawasan Bukit Cangang dan sekitarnya. Nama “Kurai” sendiri diperkirakan berasal dari kata dalam bahasa Minang yang merujuk pada kelompok atau komunitas tertentu.

"Urang Kurai" bermigrasi dari Pariangan menuju Matohari Mati (kearah barat) melalui Nagari Limo Kaum, Tanah Datar.
Dari sana, rombongan migrasi itu menyusuri Pincuran Puti, Tanjuang Alam, Parik Putuih hingga berhenti dan bermukim di sebuah daerah yang diapit oleh dua sungai, yaitu Sungan Batang Buo yang kelak disebut Tambuo dan Sungai Batang Kurai yang kemudian disebut Tangkurai.

Secara logika, karena pemukiman tersebut diapit oleh dua sungai, masuk akallah kiranya jika masyarakat awal Nagari Kurai itu bermata pencarian utama sebagai petani. Mengingat aliran sungai merupakan daerah yang subur untuk ditanami hasil bumi.

Fakta Sejarah Orang Kurai
Bagian dari Luhak Agam
Orang Kurai termasuk dalam Luhak Agam, salah satu dari tiga luhak utama dalam adat Minangkabau. Luhak ini memiliki peran penting dalam sejarah kerajaan Pagaruyung dan perkembangan adat Minangkabau.
Perlawanan terhadap Kolonial Belanda

Pada abad ke-19, Bukittinggi menjadi salah satu pusat kekuasaan kolonial Belanda dengan dibangunnya benteng Fort de Kock pada tahun 1825. Orang Kurai, bersama kelompok masyarakat lain, turut serta dalam berbagai perlawanan terhadap Belanda, terutama dalam Perang Paderi yang berlangsung dari 1803 hingga 1838.
Pusat Pemerintahan Masa Kolonial

Kontribusi dalam Pendidikan dan Perdagangan: 
Orang Kurai berperan penting dalam perkembangan pendidikan dan perdagangan di Bukittinggi. Kota ini menjadi tempat lahirnya banyak tokoh nasional, termasuk Mohammad Hatta, yang merupakan proklamator kemerdekaan Indonesia.

Peran Orang Kurai dalam Sejarah Bukittinggi
Sebagai kelompok masyarakat asli yang bermukim di Bukittinggi sejak lama, Orang Kurai memiliki peran penting dalam berbagai aspek, termasuk perdagangan, pertahanan, dan pemerintahan. Pada masa penjajahan Belanda, Bukittinggi menjadi salah satu pusat pemerintahan kolonial di Sumatera Barat, dan Orang Kurai turut berperan dalam perlawanan terhadap penjajah.

“Orang Kurai dikenal sebagai masyarakat yang tangguh dan memiliki jiwa dagang yang tinggi,” ujar seorang sejarawan Minangkabau. Sejak zaman dulu, mereka aktif dalam perdagangan dan menjadikan Bukittinggi sebagai pusat ekonomi di pedalaman Sumatera Barat.

Adat dan Budaya Orang Kurai
Sebagai bagian dari masyarakat Minangkabau, Orang Kurai menjunjung tinggi adat istiadat yang masih lestari hingga saat ini. Sistem kekerabatan yang mereka anut adalah matrilineal, di mana garis keturunan diturunkan melalui pihak ibu. Hal ini berpengaruh pada pola kepemilikan tanah, harta pusaka, serta struktur sosial yang ada di dalam masyarakat.

Orang Kurai juga dikenal memiliki keahlian dalam berbagai seni dan tradisi Minangkabau, seperti randai, silat Minang, pantun minang atau petatah petitih dan seni ukir. Mereka mempertahankan nilai-nilai adat yang tetap relevan dengan perkembangan zaman, termasuk dalam sistem pemerintahan nagari yang masih dipertahankan di beberapa daerah.




Kamis, 24 April 2025

pakej percutian ( padang bukittinggi 4 hari 3 malam )

mkb 4d3n bkt2pdg

Pesona Cuti cuti Ranah Minang
4 hari 3 malam

Day 1 : airport - padang panjang ( l,d )
Tiba di airport antara bangsa minangkabau, meet and great service dengan tour guide, bergambar dan menuju restaurant untuk sarapan, bergerak menuju air terjun lembah anai, kilang kulit MINANG KAYO, masjid islamic centre, makan tengah ala raja raja di baramas, masuk hotel, rehat, petang keluar melawat kilang kain sulam, makan malam, rehat

Day 2 : padang panjang - lawang - bukittinggi ( b,l,d ) 
Sarapan di hotel, melawat kilang kain sulam dan batik, kek narako, kilang rendang, makan tengah hari, puncak lawang dengan panorama tasik maninjau, kerbau berspek mata, bergerak ke bandar bukittinggj, makan malam, masuk hotel, free program.

Day 3 : bukittinggi - batusangkar - padang ( b,l,d )
Sarapan dan cek out hotel, tour melawat : Jam Gadang, istana pagaruyung, makan siang, bergerak ke padang, melawat masid Raya, Makan malam, free program

Day 4 : padang ( b ,l )
Sarapan di hotel, cek out, tour melawat : pasar lama, pantai muaro, jejantas siti nurbaya, ice durian ( optional ), 

Sebut harga sila hubungi :
Whatsapp : 
Bg Barry : +62822834350000

*Pakej tour sudah termasuk :*
-Transport mengikut jumlah pax
-Penginapan mengikuti pilihan
-Tiket masuk tempat lawatan
-Makan ikut program
-Tour guide bila jumlah pax up from 15 pax
-Parking fee
-Mineral water 

*Pakej tiada termasuk :*
-Personal expenses
-Perubahan program / itinerary
-Tipping untuk tour guide dan driver
-    Tiket pesawat 

*Child polition :*
-Umur 0 – 2 th adalah free ( sharing bed )
-Umur 3 – 5 th adalah 50% dari bayaran dewasa ( sharing bed )
-Umur 6 – 9 th adalah 60% dari bayaran dewasa ( sharing bed )
-Umur 10 – 13 th adalah 80% dari bayaran dewasa ( extra bed )
-Umur 14 th ke atas adalah 100% sama dengan dewasa ( bed sendiri ) 

*DEPOSIT :*
-Pembayaran deposit adalah 30% dari total payment, di bayarkan masa booking pakej
-Apabila ada cancelation di kenakan cancelation fee :
osebesar 50% dari deposit bila cancel 1 bulan sebelum ketibaan
osebesar 75% dari deposit bila cancel kurang dari 1 bulan
osebesar 100% dari deposit bila cancel kurang dari 1 minggu 

*CASH PAYMENT :*
-Dibayarkan pada hari pertama ketibaan

( price berlaku untuk tahun 2025, tidak berlaku untuk last year dan cuti hari raya )

Indahnya Alam Minangkabau ( rumah gadang )


Rumah Gadang adalah rumah adat yang menjadi ciri khas masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat. Rumah ini memiliki bentuk atap khas yang menyerupai tanduk kerbau dan berfungsi sebagai tempat tinggal, tempat pelaksanaan berbagai kegiatan adat, dan simbol kebersamaan serta warisan budaya Minangkabau. 

Rumah Gadang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak dijumpai di Sumatera Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut dengan nama lain Rumah Bagonjong atau ada juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjuang oleh masyarakat setempat.

Rumah gadang juga memiliki sebutan filsapat yg luar biasa yaitu : RUMAH GADANG NAN SAMBILAN RUANG, SALAJANG KUDO BALARI, SAPAKIAK ANAK MANANGIH, RANGKIANG BARIRIK DI HALAMANNYO, TIANGNYO MIRIANG NAN INDAK MAMBAOK RABAH, BAJANJANG NAIAK BATANGGO TURUN.

Bentuk dan Ciri Khas:
Rumah Gadang dikenal dengan bentuk atapnya yang melengkung dan runcing ke atas, menyerupai tanduk kerbau. Ukuran panjangnya bisa bervariasi, dari 12,5 meter (5 ruang) hingga 59,5 meter (17 ruangan), dengan lebar 10-14 meter. Rumah Gadang dibangun dengan panggung (tinggi) dan memiliki banyak tiang. 

Fungsi:
Selain sebagai tempat tinggal, Rumah Gadang juga digunakan untuk kegiatan adat seperti perkawinan, upacara, dan pertemuan keluarga. Rumah ini juga menjadi simbol kebersamaan dan warisan budaya Minangkabau. 

Makna Budaya:
Rumah Gadang mencerminkan kehidupan masyarakat Minangkabau yang erat dengan tradisi dan kepercayaan mereka. Setiap elemen dalam desainnya memiliki makna dan filosofi tersendiri. Rumah Gadang juga dianggap sebagai rumah pusaka yang memiliki nilai historis dan budaya yang tinggi. 

Arsitektur:
Rumah Gadang dibangun dengan kayu yang kuat dan kokoh, serta menggunakan bahan-bahan alami seperti ijuk untuk atap dan bambu untuk dinding. Arsitektur Rumah Gadang juga dirancang untuk tahan gempa, sesuai dengan kondisi alam di Sumatera Barat. 

Variasi:
Terdapat beberapa variasi Rumah Gadang, seperti rumah gadang tanpa beranda, rumah gadang dengan banyak tiang, dan rumah gadang dengan anjuang Koto Piliang. Rumah gadang juga bisa memiliki banyak kamar sesuai dengan jumlah penghuni perempuan yang akan tinggal di dalamnya

Jom terokai dan dapatkan makna filosopi yg terkandung didalam nama tersebut.
Datang dan booking tour guide dari agency pesona jejak wisata 


Senin, 21 April 2025

Suku - Suku di Minangkabau


Pasukuan atau disingkat suku adalah sistem klan di Minangkabau yang diturunkan menurut garis ibu (matrilineal). Pasukuan itu sendiri bermakna kelompok atau puak orang yang berasal dari satu keturunan. Dan ini lebih kurang mirip seperti sistem marga pada etnis Batak, namun ini tidak persis sama dengan marga yang dimaksud karena pasukuan (suku) ini bersistem klan yang merupakan sistem kuno dalam suatu peradaban.

Komunitas masyarakat yang berada dalam pasukuan (suku) ini di Minangkabau disebut sebagai kaum. Kalau mereka berasal dari suku (klan) yang sama, misalnya sama-sama Piliang atau Chaniago, berarti bersaudara. Oleh karena tu pada adat masyarakat Minangkabau, sesama suku (klan) tidak diperkenankan untuk menikah.

Sejarah pasukuan

Menurut tambo alam Minangkabau, pada masa awal pembentukan budaya Minangkabau oleh Datuak Katumangguangan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang, hanya ada empat suku awal yang dijadikan nama dari dua kelarasan. Suku-suku tersebut adalah:

- Suku Koto

- Suku Piliang

- Suku Bodi

- Suku Caniago

Sedangkan kelarasan yang dimaksud adalah Kelarasan Koto Piliang dan Kelarasan Bodi Caniago. Kelarasan merupakan sistem kekuasaan adat. Dalam perkembangannya Kelarasan Koto Piliang cendrung menganut sistem aristokrat sedangkan Kelarasan Bodi Caniago menganut sistem konfederasi.

Nama-nama suku induk tersebut berasal dari bahasa Sanskerta. Koto berasal dari kata kotto yang berarti benteng atau kubu, Piliang berasal dari dua kata phi dan hyang yang digabung berarti pilihan tuhan. Bodi berasal dari kata bodhi yang berarti orang yang terbangun, dan Caniago berasal dari dua kata chana dan ago yang berarti sesuatu yang berharga.

Demikian juga untuk suku-suku awal selain suku induk, nama-nama suku tersebut tentu berasal dari bahasa Sanskerta dengan pengaruh agama Hindu dan Buddha yang berkembang disaat itu. Sedangkan perkembangan berikutnya nama-nama suku yang ada berubah pengucapannya karena perkembangan bahasa minang itu sendiri dan pengaruh dari agama Islam dan pendatang-pendatang asing yang tinggal menetap bersama.

Sedangkan orang Minang di Negeri Sembilan, Malaysia, membentuk 12 suku baru yang berbeda dengan suku asalnya di Minangkabau.

Berikut adalah daftar suku Minangkabau:

Ampu, Ambacang Lilin, Andomo, Bacin

Balaimansiang (Mansiang), Balaigamba

Banuhampu, Baringin, Bariang, Bapayuang

Baraguang, Buluhkasok, Batupaek

Batukambiang, Bendang, Bicu, Bodi, Bonuo

Chaniago, Cupak, Dalimo, Domo, Durian

Galapuang, Gantiang, Guci, Gudam, Gugun

Harau, Jambak, Kabaru, Kalumpang

Katapang, Kampai, Koto, Koronggadang

Korongpanjang, Korongdalam, Kutianyia

Limopanjang, Limosingkek, Limokorong

Lubukbatang, Mais, Malayu, Mandahiliang

Mandaliko, Mejan, Muarobasa, Nanlimo

Nananam, Nantujuah, Nansambilan

Kondang Kopuh, Niliang, Pagacancang

Parikcancang, Pangian, Parobek

Panampuang, Pauh, Panai, Panai Linjuang

Panyalai, Piboda (Payobada), Piliang

Pinyangek, Pitopang, Pungkuik, Ponggang

Rabu, Rajodani, Salayan, Salo, Sambilan

Sikumbang, Sijangko, Simauang

Sigandang, Sidaua, Simabua, Sinapa

Singkuan, Singkuang, Sipisang, Sitabek

Sitimbago, Situnggang, Soborang, Sumagek

Sumpu, Sumpadang, Sipanjang, Tampunik

Tanjuang, Tambangpadang, Tigolareh

Tobo, Tongah, Tolang, Tujuah, Tujuahindu

Tigoniniak, 


Sementara untuk di negeri 9 malaysia.

orang Minangkabau di Negeri Sembilan, Malaysia membentuk suku (klan) baru yang diambil dari nama kampung asal mereka di Sumatera Barat :

Batu Bolang

Tigo Nenek

Tigo Batu

Mungka

Somolenggang

Solomak

Biduando

Anak Aceh

Anak Molako

Payakumboh

Tanah Data

Tompa

minangkabau

Minangkabau atau Minang adalah sebuah kelompok etnis yang berasal dari Dataran Tinggi Minangkabau, Sumatera Barat, Indonesia. Mereka dikenal dengan sistem kekerabatan matrilineal, bahasa Minangkabau, dan budaya unik yang kaya. 
Karakteristik Utama Minangkabau:
  • Sistem Matrilineal: Kekuatan dan pewarisan kekayaan berada pada garis keturunan ibu. 
  • Bahasa Minangkabau: Bahasa yang masih digunakan sebagai bahasa sehari-hari dan memiliki dialek yang beragam. 
  • Adat Minangkabau: Adat istiadat yang mengatur berbagai aspek kehidupan, termasuk pernikahan, warisan, dan pemerintahan. 
  • Budaya Rantau: Tradisi bermigrasi untuk mencari nafkah dan membangun nama baik di daerah lain, namun tetap mempertahankan akar budaya di kampung halaman. 
  • Arsitektur Rumah Gadang: Rumah adat yang khas dengan atap bergojong dan konstruksi yang kokoh. 
Nama "Minangkabau"
Dengan beberapa pendapat :
  • Nama "Minangkabau" diperkirakan berasal dari kata "Minang" yang berarti menang dan "Kabau" yang berarti kerbau. 
  • Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa Minangkabau berasal dari nama sebuah desa di Kecamatan Sungayang, Tanah Datar, Sumatera Barat. 
  • Mainang kaibu yang kemudian mengalami beberapa perubahan penyebutan menjadi minangkabu atau minonkabo mengikuti dialek para pedagang dari luar seperti cina dan persia yg memperkenalkan daerah asal tempat mereka membeli hasil bumi atau emas yg kemudian berubah menjadi minang kabau, mainang kaibu bermakna lain matrilinial ( mengikut suku ibu )
Penyebaran:
  • Kebanyakan orang Minangkabau berada di Sumatera Barat, tetapi juga ada di daerah lain seperti Riau, Bengkulu, Jambi, dan Sumatera Utara. 
  • Orang Minangkabau juga dapat ditemukan di Malaysia, khususnya di Negeri Sembilan dan Selangor. 
Contoh Marga Minangkabau:
  • Chaniago, Koto, Malayu, Piliang, Sikumbang, Tanjuang. 
Pentingnya Minangkabau:
  • Suku Minangkabau memiliki peran penting dalam sejarah dan budaya Indonesia.
  • Mereka dikenal dengan keberanian, kecerdasan, dan semangat kewirausahaan mereka. 

introduce about ranah minang

Ranah Minang, kadang dikenal pula sebagai Alam Minangkabau, adalah sebutan atau istilah untuk menyebut wilayah yang didiami oleh etnis Minang.[1] Ranah Minang terdiri dari kawasan darek dan rantau.[2] Ranah Minang jauh lebih luas dibandingkan batas-batas administratif Provinsi Sumatera Barat, karena mencakup pula wilayah hunian dan pengaruh budaya etnis Minang di provinsi-provinsi tetangga, terutama RiauJambi (khususnya Sungai Penuh), dan Bengkulu (khususnya Mukomuko).[3]

Jika berkaitan dengan penduduk, bahasa, atau kesenian, maka istilah yang digunakan adalah "Minang". Namun, jika berkaitan dengan wilayah asal seseorang, maka istilah yang digunakan adalah "Minangkabau" atau "Ranah Minang".

Minangkabau (disingkat Minang) (Jawi: ميناڠكاباو) merupakan kelompok etnik di Indonesia bagian dari rumpun Austronesia yang berasal dari Dataran Tinggi Minangkabau, Sumatera Barat. Saat ini, persebaran etnik Minangkabau meliputi seluruh daratan Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, pantai barat Sumatera Utara, pantai barat daya Aceh dan Negeri Sembilan di Malaysia. Minangkabau merujuk pada entitas kultural dan geografis yang ditandai dengan penggunaan bahasa, adat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal dan identitas agama Islam. Dalam percakapan awam, orang Minang sering kali disamakan sebagai orang Padang. Hal ini merujuk pada nama ibu kota provinsi Sumatera Barat, yaitu kota Padang. Namun, mereka biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan Urang Awak. Awak itu sendiri berarti saya, aku atau kita dalam percakapan keseharian orang Minang. Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Urang Awak itu adalah orang Minang itu sendiri.

Trip Bukittinggi - Padang

TRIP PERCUTIAN DI BUKITTINGGI PADANG 2025 BERCUTI, MELAWAT DAN MENIKMATI ATRAKSI SENI PESONA TRIP RANAH MINANG 5 HARI 4 MALAM ...